21 Januari 2019
hari ini. Tiga minggu sudah tahun baru and I still got no clue. Yah, semua juga
ngga punya bayangan tentang apa yang akan terjadi dengan hidupnya di masa depan.
Kabar baiknya, mental aku cukup stabil. Sudah ditatar oleh kejadian yang
semacam terjun-payung-lupa-pake-parasut di tahun kemarin. Hancur :’)
Bercerita
tentang perjalanan beasiswaku, banyak sekali naik-turunnya. Belum lagi
hambatannya terjadi beriringan dengan masalah hati. Rasanya kaya semua yang aku
usahakan hilang dan yang aku cari, lari. Sedih, sedih sekali. Sampai beberapa
kali, aku udah ngga nangis lagi, Cuma bengong natap dinding. Entah sudah berapa
orang yang nanya, “Masih sanggup? Masih mau lanjut?”
Sudah sejauh ini.
How can I stop? :’)
Oktober 2017 aku
dinyatakan lulus beasiswa LPDP. Tidak lama setelah itu, aku sudah mengantongi LoA
unconditional untuk kuliah di University of Melbourne (UoM) pada bulan Februari
2018. Maksud dari jenis LoA ini adalah kampus sudah menerima kita, semua syarat sudah lengkap dan siap
berangkat.
Semua tidak selancar kedengarannya karena di laman aplikasi beasiswa, disebutkan jika yang tidak mengunggah LoA unconditional pada saat pendaftaran awal, maka akan diberangkatkan paling cepat tahun 2019. Aku yang baru mendapatkan LoA setelah dinyatakan lulus tentu saja masuk ke dalam kategori waiting list. Pikiran pada saat itu masih anteng karena LoA dari UoM bisa diundur sampai setahun ke depan.
Semua tidak selancar kedengarannya karena di laman aplikasi beasiswa, disebutkan jika yang tidak mengunggah LoA unconditional pada saat pendaftaran awal, maka akan diberangkatkan paling cepat tahun 2019. Aku yang baru mendapatkan LoA setelah dinyatakan lulus tentu saja masuk ke dalam kategori waiting list. Pikiran pada saat itu masih anteng karena LoA dari UoM bisa diundur sampai setahun ke depan.
Drama terjadi
ketika aku ingin melakukan deferral ke bulan February 2019. IELTS-ku kadarluasa
di bulan Agustus 2018, sedangkan untuk memperbaharui statusku, aku butuh
sertifikat yang masih berlaku di saat kuliahku dimulai. Mulailah aku mengikuti
serentetan IELTS yang hasilnya membuat sesak dada, overall lulus tapi tersangkut
di nilai writing saja, kurang 0.5 :’)
Tidak menyerah, aku berangkat ke Kampung Inggris-Pare untuk belajar IELTS secara intensive. Waktu yang tersisa sudah rapat sekali karena deadline untukku mengunggah sertifikat IELTS yang terbaru adalah 1 Desember. Pertengahan November aku ikut ujian lagi, masih cerita yang sama, nilai writing masih tidak cukup juga walaupun yang lainnya sudah di atas rata-rata :’)
Tidak menyerah, aku berangkat ke Kampung Inggris-Pare untuk belajar IELTS secara intensive. Waktu yang tersisa sudah rapat sekali karena deadline untukku mengunggah sertifikat IELTS yang terbaru adalah 1 Desember. Pertengahan November aku ikut ujian lagi, masih cerita yang sama, nilai writing masih tidak cukup juga walaupun yang lainnya sudah di atas rata-rata :’)
Time’s up!
Eh, ternyata
belum. Keajaiban terjadi. UoM
memperpanjang deadline-ku. Aku diberi waktu untuk IELTS lagi agar bisa memenuhi
segala syarat dan bisa kuliah di awal Maret 2019. 5 Januari kemarin aku ikut ujiannya,
tidak ada beban yang terasa. Tidak seperti ujian-ujian lainnya, keluar kelas
aku merasa begitu lega dan tersenyum lepas. My feeling said I would get it
karena juga kaya ada harapan baru kan ya sampai dikasih perpanjangan waktu? Dan
inilah hasilku.
Aku kebingungan,
merasa bodoh dan terasa seperti dihempas dalam badai yang melempar dan mengadukku
dengan keras. Aku tidak bisa berhenti bertanya, salahku ada dimana? Kalau
dibilang berjuang, aku sudah mati-matian. Dibilang tidak belajar, I did, I
swear I did. Aku diberi harapan dan penerang jalan, tapi begitu hampir sampai,
malah dibilang salah arah. I felt so lost. Kegagalan ini tidak hanya membuatku
sesak dada, tapi seluruh keluarga dan sahabat-sahabat terdekatku.
Hari itu setelah
melihat hasil secara online, aku duduk di ujung ranjang, menangis sesenggukan. Ayah masuk ke kamar dan memelukku, “Yang sabar, nak. Yang sabar ya. Yang luas hatinya, belum rejeki kita, Ayah juga sedih lihatnya” katanya sambil terus mengelus-elus kepalaku.
Aku gagal untuk bisa intake awal tahun yang artinya aku akan menunggu lagi
untuk keberangkatan. Aku juga belum punya bayangan akan mendaftar kemana di kampus lainnya. Belum lagi kecemasan tentang keberlanjutan beasiswanya
sementara aku masih di Indonesia saja.
“Mungkin memang
ada sesuatu di sana, makanya sudah berapa kali, masih begini saja. yang ikhlas
nak ya,” kata mamak yang seharian terlihat begitu menahan diri untuk tidak
menangis ketika melihatku.
Jika ditotal
biaya yang kuhabiskan untuk mengikuti ujian IELTS tahun kemarin, uangnya sudah
bisa untuk membeli sepeda motor matic jenis terbaru. Sebuah pengalaman yang
membuat siapapun yang melihatku iba, kasihan dan turut melangitkan doa.
Tidak jarang aku bertanya, kenapa jalanku sebegininya? Sesekali saja, kadang ingin aku tidak perlu berdarah-darah dan terlunta-lunta untuk sesuatu yang kupinta. Entah itu karir, cinta dan pendidikan, hampir tidak ada yang bekerja sama. Tapi dari serangkaian gagalku ini setelah kupikir-pikir, mungkin memang petunjuk untuk aku menyerah pada Australia. It’s not my door, perhaps.
Semua ini terjadi tampaknya karena prinsipku juga, tidak akan berhenti sebelum semuanya kulakukan, tidak akan menyerah sebelum semua usaha kukerahkan. Jadi butuh betul-betul babak belur dulu baru aku mau percaya, ini memang bukan jalannya.
Terus, sekarang rencananya apa? Pertanyaan yangi rajin aku terima. Mencari kampus baru di negara lain tentu saja yang mau menerima perolehan nilai IELTS yang kumiliki. Ikut ujian lagi? Boleh, kalau ada yang mau bayarin hahahaha ~
“Gimana kalau peprindahannya nanti tidak diizinkan?” Tanya orang-orang.
“Gimana kalau
ternyata malah dilancarkan?” Jawabku.
Lama sekali
memang perjalanan ini sudah. Kalau mau dengar nyinyiran warganet, “Kuliahnya cuma
sebentar, tua di persiapannya saja.”
Banyak yang
sudah sangsi dan bertanya, apa aku ngga mau pindah ke dalam negeri saja atau
se-worth it apa sih yang aku kejar ini. Bahkan tidak sedikit yang sudah
menyarankan untukku mencari beasiswa lain saja :’) Untuk beberapa jawabannya
sudah kutuliskan di part 1.
Segala
kemungkinan bisa terjadi. Dan aku masih sanggup, masih mau jalan. Setidaknya, masih
punya rasa percaya kalau di balik segala sulit yang menghimpit, pasti akan ada
lega sebagai penggantinya. Walaupun sekarang amburadul dan kaya ngga ada jalan
keluarnya, cepat atau lambat aku pasti akan bergerak juga. Bismillah ya :’)
Semoga jalanku dan jalanmu dilancarkan yang maha kuasa :’)
Semangat kak cem 😘
ReplyDeletePanutanku memang nih😘😘😘
Percayalah rezeki itu akan datang diwaktu yang tepat menurut-Nya
Jijaaaaaaaah cintakuuuuuu ~ Thank youuuu :*
DeleteOoiii Kak Cem, semangaat semangaat!
ReplyDeleteHei, Dhanu! Panutankuh!
DeleteSemangat InsyaAllah =3 Makasi yaaa..
Widiiih, ikut bangga dan hanyut dalam kisah LPDP ini.
ReplyDeleteMan Jadda wa Jada!
Kindly visit my blog: bukanbocahbiasa(dot)com
Iyah bener yak, yang bersungguh-sungguh pasti akan dapat. Thank youuuu..
DeleteMakasih juga udah mampir ^^
Semangaaaaaaat broooh
ReplyDeleteOuuw emji..
ReplyDeleteI just scrolling down and reading the comment on my blog in 2013, and I accidently found ur comment and u said don't forget to visit ur blog.
After I clicked it, i felt so thankfull because u sharing about ur struggling for LPDP Scholarship...
Thank u for the experience u've shared for the readers :)
Don't forget to visit my blog
ReplyDeletewww.esyabachri.blogspot.com
I also posted about My LoA and IELTS experience
ReplyDeleteشركة تنظيف فلل بالجبيل
شركة تنظيف بيوت بالجبيل
شركة المثالية لتنظيف الفلل بعنك
شركة المثالية لتنظيف المنازل بعنك
شركة المثالية لتنظيف الشقق بعنك