My LPDP Journey (Part 1): Resign Kerja Demi Mengejar Beasiswa S-2 ke Luar Negeri
1 Juli tahun kemarin, aku bersedih karena akumulasi
kegagalan sejumlah aplikasi beasiswa yang kudaftarkan. Curhatan panjang aku
tuliskan di caption Instagram. Rencananya, akan ada beberapa part lagi di depan tentang postingan
yang menceritakan bagaimana aku jungkir-balik sampai bisa lulus di LPDP. Buat orang mungkin biasa saja ya,
tapi tidak untukku. Untuk lulus ini saja aku butuh 5 tahun tersungkur-sungkur
setelah menjadi sarjana.
Kenapa aku membagi cerita ini? Karena aku pernah kesulitan
mengumpulkan rasa percaya diri dan kebingungan mengatur strategi. Secara nilai
akademis juga aku biasa-biasa saja. IPK sekedar cukup makan dan pas-pasan untuk
syarat administrasi. Secara image
sebagai anak pintar juga aku tak punya haha.. Mungkin guru-guru di sekolah dulu
akan tersenyum begitu lebar mengetahui ada anak perempuan—yang lebih memilih
berdiri di depan kelas daripada mengerjakan soal matematika—sudah mulai sedikit
lebih rajin.
Walaupun belajar di sekolah dan kelas unggulan, waktu
sekolah dulu aku ini pemalas. Ketika sekolah, terutama di pelajaran bahasa, aku
kerap ditanya tentang PR oleh teman tapi akunya sendiri tidak mau mengerjakan.
Ngga ada alasan, emang malas aja. Lebih senang ke kantin atau menulis cerpen
dan puisi di bangku belakang. Aku juga tidak pernah menulis catatan apapun.
Ketika guru akan memeriksa catatan, aku akan selalu membeli buku baru dan
menyalin catatan terakhir saja. Ecek-eceknya buku lama udah penuh.
Tamat SMA, aku sempat ‘nyasar’ kuliah selama satu tahun di
jurusan arsitektur. Tujuan kuliah saja aku belum tahu, menggambar juga tidak
bisa. Dari jurusan ini aku mundur dan mendaftar ulang di Fakuktas Ekonomi dan
jurusan Bahasa Inggris. Di sinilah awal mula aku belajar untuk memahami passion aku itu sebenarnya ada dimana.
Cukup takjub, yang tadinya suka cabut waktu SMA, aku mulai menikmati dan sanggup
menjalani dua kuliah di saat bersamaan. Tapi di atas itu semua, yang paling aku
senangi adalah bertemu dengan banyak orang dan jalan-jalan. Keinginan untuk
kuliah di luar negeri sudah dari masa kuliah bergaung di kepala. Segala macam
pertukaran pemuda—yang waktu itu masih minim jumlahnya—kudaftar semua. Tak ada
yang lewat. Hal inilah yang bolak-balik aku yakini sebelum memutuskan untuk
berjuang lagi menjadi scholarship hunter:
sebenarnya pengen jalan-jalan atau beneran mau kuliah?
Aku anaknya random,
tidak detil dan tidak pintar menyusun strategi. Beberapa kali aplikasinya gagal
karena kesalahan yang kecil tapi fatal. Misalnya di short course ke Amerika yang kuikuti waktu kuliah. Berkas yang
disuruh kirim jumlahnya tiga rangkap, kukirim satu. Dan itu baru kusadari 2
tahun kemudian saat aku mendaftar lagi yang waktu itu adalah kesempatan
terakhir. Sampai tahap wawancara, aku gagal juga.
Tapi aku keras kepala. Cerita tidak berhenti di sana.
Mengantongi ijazah Sarjana Ekonomi, mulai kudaftar beasiswa
pemerintah Australia beriringan dengan menulis skripsi di kuliahku satunya
lagi. Tentu saja aku gagal :) Kemudian aku dipanggil wawancara untuk beasiswa
dari pemerintah Aceh. Aku memilih ke Inggris. Lagi-lagi aku tak lulus. Wajar
sih, waktu itu aku baru saja selesai sidang skripsi, jadi pikiranku terbagi.
Dan alasan lainnya adalah rencanaku tak matang. Aku tak punya cukup amunisi.
Ingatnya Cuma pengen ke Inggris saja. Please,
siapapun yang nanti pengen kuliah ke luar, jangan diulang ya alasan ini.
Kalaupun iya, temukanlah juga alasan yang akademis.
Akhirnya aku menyerah mencari beasiswa ke luar negeri dan
mulai melamar kerja. Aku diterima bekerja sebagai customer service bank. Saat bekerja, aku masih
suka mengintip-intip laman beasiswa dan mulai membuat akun di web LPDP. Sekedar
membuat itu saja aku kegirangan walaupun tidak mendaftar. Lalu trigger itu datang dari status Facebook
seorang teman yang baru saja mendarat di New York untuk kuliah di sana. Sore
itu di kantor, aku gemetar. Aku iri, aku ingin kuliah lagi. Di saat yang sama
juga aku mendapat kabar akan diangkat menjadi pegawai tetap.
Suatu fase dilematis antara karir atau pendidikan. Tapi, satu
hal yang aku sadari waktu itu adalah selama ini aku tidak punya alasan yang
cukup kuat kenapa aku ingin S-2 dan kenapa harus di luar negeri. Berhari-hari
aku berpikir begitu keras dan melakukan refleksi, seberapa besar keinginanku dan
apakah aku sudah yakin untuk meninggalkan gaji bulanan. Sudahkah aku siap jika
ternyata seperti sebelumnya aku masih gagal-gagal juga. Istikharah, bertanya ke
senior dan orangtua sudah kulakukan. Di tanggal 1 Januari 2016 aku berhenti
bekerja.
Walaupun sekarang sudah menjadi awardee LPDP, tidak serta
merta semua lancar dan tersedia begitu saja. Contohnya saja pengajuan berangkat
tahun ini yang ditolak, IELTS sudah kadarluasa dan LoA yang sekarang berubah
menjadi conditional offer. Should I
stop now? No I won’t! Am I complaining? Of course! Namanya juga manusia. Tapi
karena sudah mengambil keputusan, aku harus terus berjalan. Semua ini masih
permulaan dan ini akan menjadi pengingat untukku sendiri nanti di depan ketika serasa
ingin menyerah di tengah jalan. Dan ini juga semoga bisa menjadi salah satu
cerita motivasi untuk para pemburu beasiswa karena untuk tips & trick sepertinya sudah cukup banyak sumber seperti yang terbaik itu dari blog Kiky Edward.
Ketika aku sendiri juga lelah, catatan-catatan pribadi seperti
ini adalah pecutan keras untuk untuk mengingatkan kenapa awalnya aku memulai
dan menginginkan ini semua.
Sampai jumpa di part selanjutnya ^^
Semoga nanti di waktu yang tepat terkabul ya, Mbak.
ReplyDeleteSudah lulus Alhamdulillah ^^
Deletekak, pas dftar LPDP ke luar negeri, itu pake izin atasan tempat bkerja?atau di keterangannya tidk bekerja?dan kira" apakah peluang kita kecilndapat beasiswa kalo tidk bkerja? Mohon arahan dan bimbingannya kak..
ReplyDelete
ReplyDeleteشركة تنظيف المنازل بالجبيل
شركة تنظيف بالجبيل
شركة المثالية لتنظيف الفلل بصفوى
شركة المثالية لتنظيف المنازل بصفوى
شركة المثالية لتنظيف الشقق بصفوى