Seminggu ini, masyarakat Aceh dikejutkan oleh berita tertangkapnya dua
kepala daerah di Aceh yaitu gubernur Irwandi Yusuf dan bupati Bener Meriah,
Ahmadi. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan suap alokasi
dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018. Kabar ini
tersebar begitu cepat tidak hanya di Serambi Mekkah, tapi di se-antero
Indonesia termasuk warganet yang beramai-ramai memberikan komentar dan pendapatnya
baik yang masih bisa diterima sampai yang bikin geleng kepala.
Sebagai anak
Aceh, saya merasa cukup miris, tergelitik dan terpanggil untuk ‘meluruskan’
pemahaman keliru yang beredar. Di antaranya adalah pertanyaan seperti—akankah kasus-kasus
yang berkaitan dengan suap, pencurian, maupun korupsi di Aceh akan dikenakan hukuman
potong tangan seperti yang diatur dalam hukum Islam? Jawabannya adalah tidak! Sebabnya
adalah undang-undang ataupun pasal yang mengatur tentang itu tidak ada alias
tidak di atur di dalam Qanun (Undang-undang setingkat Perda) manapun di Aceh.
Sejauh yang
saya baca, memang wacana untuk membuatnya sudah ada, tetapi sepertinya akan sangat
sulit untuk diwujudkan. Ide untuk membuat hukum di Aceh sama keseluruhannya
seperti hukum Islam yang bersumber langsung dari Al-quran dan Hadits—seperti hukum
negara Saudi Arabia dimana terpidana pencurian dikenakan hukuman potong tangan
dan terpidana pembunuhan dikenakan hukuman potong leher—agaknya mustahil untuk
diterapkan. Ini disebabkan oleh hal paling dasar yang dianut oleh Indonesia
yaitu Pancasila dan UUD 1945—bukannya kepada Al-qur’an dan Hadits. Walaupun
untuk daerah Aceh, ada beberapa aturan yang merunut kepada Al-Quran dan Hadits.
Pertanyaan
dan tudingan yang tidak kalah keliru lainnya ialah—kenapa sepertinya penerapan
syariat Islam di Aceh pilih-pilih dan tidak menyeluruh ke semua bidang?
Jawaban yang
pertama adalah karena konstitusi Republik Indonesia tidak memungkinkan provinsi
Aceh untuk menerapkan Hukum Islam secara menyeluruh sesuai dengan Al Qur’an dan
Hadits. Satu hal yang harus dipahami adalah hukum pidana islam—yang lebih
dikenal dengan hukum syariah—yang sedang diterapkan di Aceh sekarang itu
sudah melalui pembahasan, rancangan, serta diskusi panjang dan komprehensif
untuk di positivisasi (dijadikan sebagai hukum positif/hukum yang
berlaku sekarang) sebagai aturan, sesuai prosedur perundang-undangan di
Indonesia. Jadi, asumsi
yang mengatakan kalau penerapan syariat Islam di Aceh itu setengah-setengah
tidak tepat karena pemerintah dan masyarakat Aceh hanya boleh menerapkan
semua hukum yang telah diundangkan secara konstitusional.
Untuk
mencari referensi lebih lanjut, saya bertanya ke Valdi, seorang teman yang akan
melanjutkan kuliah pasca sarjananya di bidang hukum di Inggris.
Katanya, Provinsi Aceh memang memiliki beberapa kewenangan khusus untuk mengatur daerahnya sendiri melalui UU No. 44/1999 tentang Daerah Keistimewaan Aceh dan diperkuat dengan UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Namun, segala peraturan yang ada di dalam qanun itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan dan penerapan peraturan secara nasional. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum lex superiori derogate lex inferiori, yang artinya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mendahului peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Mengenai kasus suap di Aceh yang sedang ramai diperbincangkan, untuk sekarang para penegak hukum akan mengacu pada UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) junto UU No. 20/2001. Ini berbeda dengan kasus mesum, zina, miras dan lainnya yang aturannya akan merunut pada Qanun Jinayah No.6/2014—yang jika terbukti akan dikenakan hukuman cambuk.
Soal yang
sama saya tanyakan ke Zacky—mahasiswa hukum Unpad Bandung—yang balik bertanya
pilih-pilih yang saya maksud ini apa. Karena kosakata pilih-pilih itu terdengar
ambigu menurutnya. Pilih-pilih di sini maksudnya adalah kenapa hukum syariat di
Aceh kok sepertinya hanya di ranah-ranah tertentu saja.
Menurut Zacky, Secara umum, masalah yang ada di tengah masyarakat itu adalah masalah sosialnya. Dan permasalahan sosial itu sendiri beda-beda di setiap daerah tergantung persepsi yang lahir—baik itu dari agama, adat istiadat, serta pergaulan. Disini ia tidak menyebutkan kata budaya karena budaya itu cukup sulit untuk dideskripsikan. Makanya ia lebih memilih menggunakan kata pergaulan. Dan pergaulan itu kembali lagi ke pribadi masing-masing.
Ketika saya bertanya apakah yang diatur dalam syariat Islam di Aceh hanyalah masalah sosial saja. Zacky membenarkan dengan mengatakan bahwa masalah sosial itu masuk ke ranah adat istiadat dan agama. Dan itu hanya berlaku di Aceh sebagai kekhususan berdasarkan UU no 44 tahun 1999. Hal senada seperti yang disebutkan Valdi di atas juga dijelaskan oleh Zacky. Suatu aturan yang telah di atur di undang undang, tidak boleh diatur kembali. Jika qanun bertentangan dengannya, maka itu akan diuji di Mahkamah Agung Indonesia.
Jujur saja saya sebenarnya cukup insecure menulis masalah ini karena merasa tidak punya pemahaman
dan latar belakang yang bersinggungan. Apalagi kayanya sedikit saja salah
menjawab akan diserang habis-habisan. Tapi itu kan bukan alasan ya untuk tidak
menulis dan memaparkan fakta yang ada, terutama karena ini menyangkut identitas
di dalam diri saya—Aceh dan Islam. Jawaban-jawaban dari mereka yang membidangi
ini juga bikin saya takjub dan sempat mikir kenapa dulu saya ngga kuliah hukum
saja ya? Because everything sounds so
complex but at the same time sounds so cool xD haha..
Untuk kasus yang sedang berlangsung, sebagai warga negara
biasa, saya berharap semuanya berlangsung lancar, benar dan adil. Tentang hukum
syariah sendiri, saya pribadi berharap pihak-pihak terkait bisa lebih
mensosialisasikan tentangnya dalam bahasa yang lebih bisa dipahami oleh
masyarakat awam dan kitanya juga lebih mau mempelajarinya. Tidak bisa
dipungkiri, topik ini bukanlah perbincangan favorit terutama di kalangan anak
muda kecuali ketika sedang viral seperti saat ini.
Menulis tentang ini juga adalah bentuk jawaban saya yang
berulang kali ditanya apakah Aceh aman untuk dikunjungi dan apakah
semerta-merta akan dicambuk saja? No! Of course not! Seperti yang sudah
terpapar di atas, ada undang-undang dan aturan yang berlaku yang tidak bisa
dilanggar begitu saja. Kita di sini baik-baik saja kok, rajin ngopi-ngopi
syantik dan main kaya orang lainnya. Sini main-main ke Aceh untuk menemukan
seberapa hangatnya masyarakat Aceh menyambut tamu yang datang ^^
Cheers ~
Akhirnya ditulis juga. So proud of you, adek :*
ReplyDeleteCoba tanya sama yang komen nyinyir, udah pernah baca Qanun Aceh, belum? Pernah lihat wujudnya aja belum tentu.
Mbak Deeeeel! Thank you so muuuuuuch <3
DeleteBiasanya sih jangankan lihat, berusaha nyari tahu dulu sebelum komentar juga pasti susah hihihi..
cakep!!!.. *lalu kembali miris dengan kelakuan netizen
ReplyDeleteUlalaaaaaa sekali dikomenin kakak Mayra 😍 Ih nitijen itu hana ubat wkwk..
Deleteaku tiba2 pengen belajar balek ke kampus masuk jurusan lain biar makin klop hahahhahaaa
ReplyDelete
ReplyDeleteشركة تنظيف الموكيت بالجبيل
شركة تنظيف الكنب بالجبيل
شركة المثالية للتنظيف بصفوى
شركة المثالية للنظافة بصفوى
شركة المثالية الدولية للتنظيف بصفوى