![]() |
English Studio Office |
“IELTS itu hanya segelintir kerikil di awal perjuangan,”
kata seorang teman, yang kusambut dengan senyum kecut.
Lucu memang, di tahun 2016 yang lalu, nilai IELTS-ku
langsung sesuai target di percobaan pertama. LoA unconditional juga akhirnya
kudapatkan, tapi aku gagal di seleksi beasiswa. Di tahun berikutnya, aku
mendapat beasiswa, tapi keberangkatanku harus ditunda ke tahun 2019. LoA
unconditional yang akhirnya sudah kupunya, sekarang berubah menjadi conditional
offer karena sertifikat IELTS yang kadarluasa.
Cukup percaya diri aku mengikuti tes IELTS lagi di bulan
Juni kemarin, tapi nilaiku meluncur tajam, dari yang tadinya overall 6.5
menjadi 6. Bulan berikutnya aku mengikutinya lagi dan berhasil mendapatkan
overall 7, tapi 5.5 untuk writing masih menganga di sana. Kemudian aku ikut lagi,
tapi masih sama, writing yang 5,5 padahal yang lainnya sudah 7 untuk
masing-masingnya. Lalu mulailah hariku terasa begitu berat dan bergerak cepat.
Aku merasa dikejar-kejar waktu untuk kembali mendapatkan LoA-ku, tapi alam
semesta seperti tidak mau bekerjasama.
Maka kuputuskan untuk berangkat ke Kampung Inggris-Pare untuk
mengambil kursus IELTS writing selama sebulan. Mempelajari IELTS itu butuh
manajemen waktu yang sangat baik karena rasanya terlalu banyak materi yang
harus diserap dalam satu waktu. Walaupun basic sudah kupunya, tapi aku masih
juga kadang sulit mencerna. Sampai akhirnya, segala keraguan dan kecemasanku
pecah juga, selepas kelas aku menangis terisak-isak di ruang kantor tempatku
belajar, English Studio (ES). Waktu itu aku merasa tidak mampu dan seperti
berjalan di tempat.
Lily—teman sekelas merangkap admin dan Shabrina—pengajar
IELTS yang lulusan Queensland University berusaha menenangkanku. I was deeply
emotional that day. Rasanya otakku mau pecah dikejar deadline yang makin
mendekat. Aku juga merasa takut bagaimana kalau aku gagal lagi padahal aku
sudah sejauh ini. Terlalu banyak laman yang terbuka di kepalaku memikirkan
IELTS ini.
Lalu Mr. Eddy Suaib—pemilik sekaligus pengajar di English
Studio—duduk di depanku dan berkata, “Yang kita butuhkan untuk melewati ini adalah
stabilitas emosi.” Melihatku yang tampak kacau, sedikitpun ia tidak mengejek,
tapi malah menambahkan, “Bring me all the writings you have produced, I’ll give
you personal feedbacks,”
Bukannya mereda, aku makin menangis jadinya. Campur aduk
antara perasaan lega karena ditawarkan bantuan dan syukur karena dipertemukan
orang-orang baik yang tidak hentinya kutemui di kampung ini. Aku berani
merekomendasikan kalau English Studio ini adalah satu tempat terbaik untuk
mempelajari IELTS di Pare. Pengajar-pengajarnya adalah tipikal yang siap
ditanyai dan diajaki diskusi, ruangan kondusif dan penyampaian materinya juga
teratur dan menyeluruh.
Dari hasil observasiku, pegajar-pengajarnya memang sigap dan
cepat mendeteksi kebiasaan dan kesalahan yang dilakukan muridnya seperti apa. Manajemen
kelasnya juga cukup baik karena dilakukan diagnostic test terlebih dahulu
sebelum memilih program, jadi kita memang akan ditempatkan di kelas yang
kemampuan dan pengetahuannya Bahasa Inggrisnya sama. Oh iya, tambahan juga, Mr.
Eddy ini overall IELTS-nya 8 dengan band score yang juga 8 untuk writing
section. Pengajar-pengajar yang lain juga rata-rata adalah penerima beasiswa
luar negeri sekaligus alumninya. Insya Allah worth it kalau mau ke sini :’)
Yah, bohong kalau kubilang aku tidak was-was dengan real
test ke-4 yang akan aku ikuti tahun ini, 3 hari lagi :’) Tapi kita tidak boleh
menyerah. Segila apapun rasanya, kita tidak boleh berhenti di sini. Bismillah :’)
Semoga usaha dan jarak panjang yang sudah kuambil kali ini membuahkan hasil :’)